Empat Racun Hati
Perlu diketahui, semua maksiat adalah racun bagi hati. Maksiat memicu penyakit hati, membuatnya menyelisihi kehendak Allah, serta membuat sakitnya kian bertambah.
Ibnul Mubarak bersyair:
رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ .. وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةَ الْقُلُوبِ .. وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عَضْيَائُهَا
Kulihat dosa-dosa mematikan hati,
dan membiasakannya berbuah kehinaan.
Meninggalkan dosa adalah hidupnya hati,
dan menjauhi dosa lebih baik bagi diri Anda.
Siapa menginginkan hatinya selamat dan hidup, ia harus menghindarkannya dari segala pengaruh racun ini. Jika ia telah menenggak sebagian racun itu, ia harus segera menghapusnya dengan bertobat, memohon ampun, dan mengerjakan kebajikan-kebajikan untuk menghapus keburukan.
Adapun racun yang kami maksud adalah banyak berbicara, banyak melihat, banyak makan, dan banyak bergaul. Inilah racun-racun hati yang paling banyak menyebar dan sangat membahayakannya.
Banyak bicara
Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“Iman seorang hamba tidak akan lurus sebelum hatinya lurus, dan hatinya tidak akan lurus sebelum lisannya lurus.”1
Beliau ﷺ menjadikan hati yang lurus sebagai syarat lurusnya iman, dan menjadikan lisan yang lurus sebagai syarat lurusnya hati.
Diriwayatkan pula secara marfu’ dari Abdullah bin Umar, “Janganlah kalian banyak bicara selain zikir kepada Allah, karena banyak bicara selain zikir kepada-Nya mengeraskan hati. Dan, manusia yang paling jauh dari-Nya adalah manusia yang keras hatinya.” (HR At-Tirmidzi).2
Hadits dari Ibnu Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي
Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah ﷺbersabda: “Janganlah kalian banyak bicara tanpa berzikir kepada Allah, karena banyak bicara tanpa berzikir kepada Allah membuat hati menjadi keras, dan orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang berhati keras.” (HR. Tirmidzi)
Umar bin Khathab berkata, “Siapa yang banyak bicara, ia banyak salah. Siapa yang banyak salah, ia banyak dosa. Dan siapa yang banyak dosa, neraka lebih patut baginya.”3
Disebutkan dalam hadis Mu’adz bahwa Nabi ﷺ bersabda,
“Maukah aku beritahukan kepadamu inti semua itu?”
“Tentu, wahai Rasulullah ﷺ,” jawabku.
Beliau ﷺ kemudian meraih lisannya lalu berkata, “Tahanlah ini!”
“Wahai Nabi Allah. Apakah kita akan dihukum karena apa yang kita ucapkan?” tanyaku.
Nabi ﷺ menjawab, “Ibumu kehilanganmu, Mu’adz4 Tidaklah manusia ditelungkupkan di neraka di atas wajah-wajah mereka atau beliau bersabda di atas hidung-hidung mereka melainkan karena buah ucapan mereka.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim, in menyatakan shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim),5
Maksud buah ucapan adalah balasan dan hukuman ucapan yang diharamkan. Dengan tutur kata dan amal perbuatanlah manusia menanam kebaikan dan keburukan dan kelak menuai hasilnya pada hari kiamat. Orang yang menanam perkataan dan perbuatan baik, ia akan menuai kemuliaan. Orang yang menanam perkataan dan perbuatan buruk, ia akan menuai penyesalan.
Disebutkan dalam hadis Abu Hurairah, “Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang; mulut dan kemaluan.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi).6
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ اْلجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَ حُسْنُ اْلخُلُقِ وَ سُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ قَالَ: اْلفَمُ وَ اْلفَرَجُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam surga?. Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Beliau ﷺ juga ditanya tentang sesuatu apakan yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam neraka?. Beliau menjawab, “Mulut dan farji (kemaluan)”. [HR at-Turmudziy: 2004, Ibnu Majah: 4246 dan Ahmad: II/ 291, 392, 442. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan sanadnya, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1630, Shahih Sunan Ibni Majah: 3424, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 977 dan Misykah al-Mashobih: 4832. Di dalam satu riwayat; Beliau menjawab, “Dua lobang yaitu mulut dan farji”
Disebutkan pula dalam kitab Shahihain dari Abu Hurairah, “Sungguh, seseorang mengucapkan suatu kalimat yang tidak ia sadari, dan karenanya ia tergelincir ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”7
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang ia tidak mengetahui secara jelas maksud yang ada di dalam kalimat itu, namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat. (HR Muslim, no. 2988).
Diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi dengan lafal, “Sungguh, seseorang membicarakan suatu kalimat yang menurutnya tidak mengapa, karenanya ia jatuh ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun”8
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِي النَّارِ
Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, ia tidak menganggapnya berbahaya; dengan sebab satu kalimat itu ia terjungkal selama 70 tahun di dalam neraka
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِى بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِى النَّارِ
“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kalimat yang dia anggap itu tidaklah mengapa, padahal dia akan dilemparkan di neraka sejauh 70 tahun perjalanan karenanya.” (HR. Tirmidzi No. 2314. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib)
Uqbah bin Amir berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau ﷺ menjawab, Tahanlah lisanmu. Jadikan rumahmu terasa lapang bagimu (dengan menjalankan ketaatan kepada Allah dan menyepi di rumah ketika terjadi kerusakan dalam pergaulan), dan tangisilah kesalahanmu.”” (HR Al-Bukhari dan Muslim).9
Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa menjamin untukku apa yang ada di antara dua jenggot dan kedua pahanya, aku menjamin surga untuknya.” (HR Al-Bukhari).10
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”.
Rasulullah ﷺ juga bersabda “Siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, berkatalah yang baik atau diam. “11
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan perintah beliau ﷺ untuk berkata yang baik saja atau diam dari perkataan tidak baik. Jadi, perkataan terbagi dua. Pertama, perkataan baik yang diperintahkan untuk diucapkan. Kedua, perkataan buruk yang diperintahkan untuk tidak diucapkan.
Ummu Habibah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ berkata, “Setiap perkataan anak Adam itu merugikan dan tidak membawa manfaat baginya. Kecuali ajakan kebaikan, larangan kemungkaran, dan zikir kepada Allah.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).12
Suatu ketika Umar mengunjungi Abu Bakar. Lalu ia mendapati Abu Bakar sedang menarik lidahnya dengan tangannya. Umar berkata kepadanya, “Apa yang Engkau lakukan? Semoga Allah mengampunimu.”
Abu Bakar pun berkata, “Inilah yang membuatku jatuh ke tempat-tempat yang membinasakan.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Demi Allah, yang tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan sebenarnya selain-Nya. Tidak ada satu pun yang perlu dipenjara lebih lama dari pada lisanku.”
Ia juga berkata, “Wahai lisan, katakanlah yang baik, niscaya kau beruntung. Diamlah dari keburukan, niscaya kau selamat. Sebelum kau menyesal.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
سلامة الإنسان في حفظ اللسان
“Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” (HR. al-Bukhari).
Abu Ubaidah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Sampaikan kabar kepadaku bahwa seseorang mengatakan bahwa manusia tidak akan lebih murka pada satu pun dari bagian tubuhnya pada hari kiamat melebihi lisannya. Kecuali orang yang menggunakan lisannya untuk berkata baik atau mendiktekan kebaikan.”
Hasan berkata, “Tidaklah memahami agama orang yang tidak bisa menjaga lisannya.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah ﷺ bersabda:
عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك علي أمردينك
“Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu.” (HR. Ahmad).
Adapun petaka lisan yang paling ringan bahayanya adalah membicarakan hal-hal tiada guna. Sabda Rasulullah ﷺ berikut sudah cukup untuk menjelaskan bahaya petaka ini, “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tiada berguna baginya.”13
Anjuran melakukan segala sesuatu atas dasar manfaat yang dikandungnya termaktub dalam hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan selainnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah –semoga Allah menridhainya- ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, ‘Termasuk baik Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.’”
Termasuk baik Islamnya seseorang berarti sebagian hal yang menunjukkan keislaman seseorang itu telah bernilai baik, atau yang menunjukkan keimanan seseorang itu telah sempurna, adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna. Imam al-Mubarkafuri dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi, Syarah Sunan at-Turmudzi mengutip keterangan Imam al-Qori mengenai makna lafadz “Sesuatbanu yang tidak berguna”:
Abu Ubaidah meriwayatkan dari Hasan, “Di antara tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah Dia menjadikannya sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Inilah wujud pengabaian Allah padanya.”
الله عليه وسلم أُمَّتَهُ قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: عَلَامَةُ إِعْرَاضِ اللهِ تَعَالَى عَنِ العَبْدِ اِشْتِغَالُهُ بِمَا لَايَعْنِيْهِ، وَإِنْ امْرِإٍ ذَهَبَتْ سَاعَةٌ مِنْ عُمُرِهِ فِي غَيْرِ مَا خُلِقَ لَهُ مِنَ العِبَادَةِ، لَجَدِيْرٌ أَنْ تَطُوْلَ عَلَيْهِ حَسْرَتُهُ. وَمَنْ جَاوَزَ الأَرْبَعِيْنَ وَلَمْ يَغْلِبْ خَيْرُهُ عَلَى شَرِّهِ فَلْيَتَجَهَّزْ إِلَى النَّارِ
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tanda berpalingnya Allah dari hamba-Nya adalah dia (hamba) disibukkan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat dan sesungguhnya orang yang telah kehilangan sesuatu dari umurnya untuk selain ibadah, tentu sangat layak baginya kerugian yang panjang. Barang siapa umurnya telah melebihi 40 tahun sementara amal kebaikannya tidak melebihi amal keburukannya maka bersiap-siaplah masuk neraka.”
Sahal berkata, “Siapa berbicara tentang hal-hal tak berguna, ia terhalang dari kejujuran.”
Inilah petaka lisan yang paling kecil dampak bahayanya. Lalu bagaimana dengan ghibah, adu domba, perkataan batil dan buruk, perkataan orang bermuka dua, debat, bantah-membantah, pertikaian, nyanyian, dusta, menyanjung-nyanjung, menghina, mengolok-olok, kekeliruan dalam pembicaraan, dan kejahatan lisan lainnya? Padahal semua itu merusak hati, melenyapkan kebahagiaan dunia, dan melenyapkan keberuntungan akhirat. Allah jua tempat kita semua memohon pertolongan.
Banyak memandang
Banyak memandang akan mendorong seseorang menganggap baik obyek yang dipandang sehingga membekas di hati orang yang memandang. Hal ini bisa menimbulkan berbagai kerusakan hati.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّمَا لَكَ الأُولَى، وَلَيْسَتْ لَكَ الأُخْرَى
“Janganlah kamu mengikutkan pandangan dengan pandangan berikutnya. Sebab, hanya pandangan pertama saja yang dibolehkan bagimu tidak untuk pandangan setelahnya.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).”
Nabi Muhammad ﷺ beliau pernah berkata kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA:
يا عليُّ ! لا تُتبعِ النَّظرةَ النَّظرَةَ، فإنَّ لَكَ الأولى ، ولَيسَتْ لَكَ الآخرَةُ
“Wahai Ali, jangan susuli pandanganmu, karena pandangan pertama adalah bagianmu dan pandangan kedua bukan lagi bagianmu.”
Pertama, diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Pandangan adalah salah satu anak panah beracun Iblis. Maka, siapa menundukkan pandangannya karena Allah, Dia memberinya kenikmatan yang ia rasakan di dalam hatinya, hingga hari bertemu dengan-Nya.”
Rasulullah ﷺ telah memperingatkan umatnya dari bahaya mengumbar pandangan terhadap hal-hal yang haram dengan sabdanya :
إِنَّ النَّظْرَةَ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومٌ، مَن تَرَكَهَا مَخَافَتِي أَبْدَلْتُهُ إِيمَانًا يَجِدُ حَلاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ
“Sesungguhnya pandangan mata adalah salah satu anak panah iblis yang beracun. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepadaku, niscaya aku ganti dengan keimanan yang terasa lezat dalam hatinya.”
Kedua, setan ikut masuk bersama pandangan. Setan lebih cepat merasuk ke dalam hati bersamaan dengan pandangan melebihi kecepatan udara memenuhi sebuah ruangan. Selanjutnya setan menghiasi obyek yang dipandang, menjadikannya sebagai berhala dan hati pun suka menetap di sana. Setelah itu setan menebar janji dan angan-angan, menyalakan api syahwat di dalam hati, dan melemparkan kayu bakar kemaksiatan ke dalam kobarannya. Setan tidak bisa melakukan hal ini tanpa adanya obyek yang dipandang tersebut.
Ketiga, menyibukkan hati, hingga ia lupa dan terhalangi dari segala maslahat. Imbasnya, hati akan melampaui batas,
mengikuti hawa nafsu dan terjebak dalam kelalaian. Allah Azza Wa Jalla berfirman:
وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْ ۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَ لَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَا تَّبَعَ هَوٰٮهُ وَكَا نَ اَمْرُهٗ فُرُطًا
“Dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi 18: ayat 28).
Demikianlah, melepaskan pandangan secara bebas menimbulkan tiga petaka tersebut.
Para dokter hati menyatakan bahwa di antara mata dan hati terdapat celah dan jalur. Ketika mata runtuh dan rusak, hati pun ikut runtuh dan rusak. Hati menjadi seperti sampah tempat benda-benda najis dan kotor sehingga tidak patut menjadi tempat makrifat dan cinta Allah, tempat kembali kepada-Nya, serta kebahagiaan berada di dekat-Nya.
Melepaskan pandangan secara bebas adalah kemaksiatan kepada Allah berdasarkan firman-Nya,
قُلْ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُـضُّوْا مِنْ اَبْصَا رِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ بِۢمَا يَصْنَـعُوْنَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
(QS. An-Nur 24: Ayat 30)
Sejatinya, kebahagiaan di dunia ini adalah karena mengerjakan perintah Allah. Tiada keselamatan bagi siapa pun di akhirat kecuali dengan melaksanakan perintah-perintah Allah.
Melepaskan pandangan secara bebas juga menggelapkan hati, sebagaimana menundukkannya karena Allah menyinarinya. Allah menyebut ayat cahaya dalam surah An-Nur,
اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَا حٌ ۗ
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar”.
(QS. An-Nur 24: Ayat 35)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُـضُّوْا مِنْ اَبْصَا رِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ بِۢمَا يَصْنَـعُوْنَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
(QS. An-Nur 24: Ayat 30)
Manakala hati bersinar terang, segala kebaikan datang menghampiri dari segala penjuru. Begitu juga ketika hati gelap, awan mendung petaka dan keburukan datang menerpa dari arah mana pun.
Selain itu, melepaskan pandangan secara bebas juga membutakan hati. Ia tidak bisa membedakan antara yang benar dan batil, antara sunah dan bid’ah. Sebaliknya, menundukkan pandangan karena Allah mendatangkan firasat lurus yang dapat membedakan keduanya.
Seorang saleh berkata, “Barang siapa mengisi lahirnya dengan mengikuti sunah, mengisi batinnya dengan senantiasa merasakan pengawasan-Nya, menundukkan pandangan dari segala yang diharamkan, menahan diri dari segala syubhat dan hanya memakan makanan halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”
Ketahuilah, balasan sesuai dengan amal perbuatan. Barang siapa menundukkan pandangan dari hal yang diharamkan Allah, Dia akan memancarkan cahaya mata hatinya.
Banyak makan
Sedikit makan melembutkan hati, menguatkan daya pikir, mematahkan keinginan buruk jiwa, serta melemahkan hawa nafsu dan amarah. Sementara itu, banyak makan berakibat kebalikan dari semua itu.
Miqdam bin Ma’di Yakriba berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ingin menambah maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan”).14
عن المِقْدَام بن مَعْدِي كَرِبَ -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقول: «ما مَلَأ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا من بطن، بِحَسْبِ ابن آدم أُكُلَاتٍ يُقِمْنَ صُلْبَه،ُ فإن كان لا مَحَالةَ، فَثُلُثٌ لطعامه، وثلث لشرابه، وثلث لِنَفَسِهِ».
Dari Al-Miqdām bin Ma’dikarib -raḍiyallāhu ‘anhu- secara marfū’, “Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus melebihi itu, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya.”
Banyak makan menimbulkan banyak keburukan. Karena, banyak makan mendorong tubuh bermaksiat dan membuatnya berat melaksanakan ketaatan dan ibadah.
Sebenarnya, dua dampak di atas sudah cukup menjadi keburukan. Akan tetapi, banyak kemaksiatan disebabkan rasa kenyang dan banyak makan. Juga, banyak amal ketaatan terhalang karenanya.
Untuk itu, barang siapa menjaga diri dari keburukan perut, ia telah menjaga diri dari keburukan yang besar. Karena, setan mudah menguasai manusia yang perutnya penuh terisi makanan. Tidak heran jika sebuah atsar menyebutkan, “Persempitah tempat-tempat aliran setan dengan puasa.”15
Seorang salaf berkata, “Dahulu, ada sejumlah pemuda Bani Israil yang rajin beribadah. Saat waktu berbuka tiba, sebagian mereka berdiri lalu berkata, Janganlah kalian banyak makan karena dengannya kalian akan banyak minum dan tidur, hingga kalian akan banyak merugi.””
Sebagaimana diketahui, Rasulullah ﷺ dan para sahabat sering kali lapar. Meski hal itu memang disebabkan karena tidak adanya makanan, namun Allah tentu memilih kondisi paling sempurna dan terbaik untuk Rasul-Nya. Karena itulah Ibnu Umar meniru beliau dalam hal makanan meski ia mampu. Hal yang sama sebelumnya juga dilakukan ayahnya. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa “Keluarga Muhammad ﷺ sejak tiba di Madinah tidak pernah dikenyangkan roti gandum tiga hari berturut turut hingga beliau wafat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).16
وَعَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قََالََتْ :
مَا شَبعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خُبْزِ شَعِيرٍ يَوْمَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ حَتَّى قُبِضَ .مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَفِي رِوَايَةٍ: مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَـدِمَ المَدِيْنَةَ مِنْ طَعَامِ البُرِّ ثَلاثَ لَيَالٍ تِبَاعاً حَتَّى قُبِضَ .
Dari Aisyah ra., berkata:
Tidak pernah kenyang keluarga Muhammad saw. dari roti gandum selama dua hari berturut-turut, keadaan sedemikian ini sampai beliau saw. meninggal.
(Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan: Tidak pernah kenyang keluarga Muhammad saw. itu sejak beliau datang di Madinah dari makanan gandum selama tiga hari berturut-turut, sehingga beliau dicabut ruhnya – wafat.
Ibrahim bin Adam berkata, “Barang siapa mengatur perutnya, berarti ia mengatur agamanya. Barang siapa mengusai rasa lapar, berarti ia menguasai akhlak baik. Sungguh, kemaksiatan kepada Allah jauh dari orang lapar dan dekat dengan orang kenyang.”
Berlebihan dalam bergaul
Berlebihan dalam bergaul merupakan penyakit kronis yang berbahaya. Hal ini bisa menghilangkan nikmat, menanamkan permusuhan, dan menimbulkan penyakit hati yang seandainya ditimpakan pada gunung nan tinggi menjulang pun akan lenyaplah gunung itu. Selain itu, hal ini juga menimbulkan kerugian dunia-akhirat.
Dalam bergaul, kita harus membagi manusia menjadi empat golongan. Jika dicampur-adukkan, pastilah keburukan akan menerpa. Berikut keempat golongan tersebut:
1. Golongan yang bergaul dengannya laksana mengonsumsi makanan bergizi. Jika keperluan selesai, Anda pun tidak
bergaul dengan mereka ini. Lalu jika Anda membutuhkan, Anda kembali bergaul dengan mereka.
Mereka adalah para ulama yang mengenal Allah dan perintah-Nya, serta mengetahui tipu daya musuh, penyakit hati, dan obatnya. Mereka bersikap tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan sesama manusia. Bergaul dengan golongan seperti ini sangat menguntungkan.
2. Golongan yang bergaul dengannya laksana mengonsumsi obat yang dibutuhkan ketika sakit. Selama Anda sehat, Anda tidak perlu bergaul dengan mereka.
Mereka adalah orang-orang yang perlu diajak bergaul dalam maslahat kehidupan selama Anda memerlukan mereka dalam perkara mualamah, nasihat, dan lainnya. Setelah keperluan Anda selesai, Anda masih tetap perlu bergaul dengan mereka.
3. Golongan yang bergaul dengannya laksana mengonsumsi penyakit, dari yang ringan hingga penyakit kronis menahun. Teman seperti ini tidak memberikan keuntungan agama maupun dunia. Bahkan malah merugikan agama dan dunia, atau salah satunya. Jika Anda telah dikuasai pergaulan ini, berarti Anda terkena penyakit yang sangat mematikan.
Sebagian orang tidak bisa berkata baik dan bermanfaat. Ada orang yang dapat diam untuk mengambil manfaat dari Anda. Ada yang tidak mengenali diri sendiri sehingga tidak dapat menempatkan diri pada posisinya yang tepat. Ketika berbicara, perkataanya laksana tongkat yang memukul hati para pendengar.
Bahkan, ia kagum dan bangga pada perkataannya. la berbicara dengan siapa pun, dan mengira dirinya laksana minyak kasturi yang mengharumkan majelis. Saat diam, ia lebih berat dari sebongkah batu. Tidak ada yang dapat mengangkat atau menggesernya.
Orang seperti ini ada yang cukup kita pergauli sekedarnya saja, tapi ada pula yang karena kondisi tertentu kita harus bergaul dengannya secara intensif. Jika memang demikian, pergaulilah ia sewajarnya. Berikan lahiriah kita tapi tidak batin kita hingga Allah memberikan jalan keluar.
4. Golongan yang bergaul dengannya adalah kebinasaan total. Bergaul dengan orang seperti ini laksana menenggak racun. Jika seseorang tak sengaja menenggak racun ini, ia harus mendapatkan obat. Jika tidak, ia perlu diberi ucapan bela sungkawa.
Golongan ini jumlahnya banyak-semoga Allah mempersedikit jumlah mereka. Mereka adalah para ahli bid’ah yang sesat. Mereka menghalangi manusia dari sunah Rasulullah ﷺ, mengajak untuk menentang sunah. Bagi mereka, sunah dianggap bid’ah, dan bid’ah dianggap sunah. Orang berakal tidak patut bergaul dengan mereka. Jika tetap bergaul maka akan ada dua kemungkinan; mati hati atau sakit hati.
Semoga Allah berkenan memberi kita semua keselamatan dan rahmat.
Diriwayatkan Oleh :
1. Al-Musnad. Hadis dhaif. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shamt. Keduanya dari riwayat Ali bin Mas’adah.” (III/234). Hadis ini didhaifkan Al-Iraqi dalam Takhrij Al-Ihyd (VIII/1539).
2. Hadis dharf, diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Az-Zuhd (VII/92). At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini gharib. Kami hanya mengetahuinya dari hadis ibrahim bin Abdullah bin Hathib.” Biografi Ibrahim disebutkan Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (1/41) dan menyebutkan hadis ini sebagai salah satu hadis gharib Ibrahim.
3. Hadis dhail, diriwayatkan Abu Hatim bin Hibban dalam Raudhatul Uqala dengan matan serupa (81),Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman secara mauquf sampai Umar Al-Iraqi menyatakan demikian dalam Takhrij Al-Ihya (VIII/1541). Hadis ini juga diriwayatkan secara marfu’ dari Ibnu Umar, seperti diriwayatkan Abu Nuaim dalam Al-Hulyah (111/74) dengan sanad dhaif seperti yang dikatakan Al-Iraqi.
4. Maksud “Ibumu kehilanganmu” secara lahir adalah Nabi ﷺ mendoakan kematian kepada Mu’adz. Namun ini bukan yang dimaksud. Maksudnya adalah memberikan pelajaran dan mengingatkan dari kelalaian, serta memperbesar persoalan yang tengah dibicarakan.
5. Shahih, diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Kitab Iman (VII/362), la berkata, “Hadis ini hasan shahih, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak; Kitab Tafsir (11/412), la menyatakan shahih dan hal ini disetujui Adz-Dzahabi.
6. Shahih, diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Kitab Berbakti dan Menyambung Tali Kekeluargaan. la berkata, “Hadis ini shahih gharib.” (VI/142). Al-Hakim dalam Al-Mustadrak; Kitab Hal Hal yang Melembutkan Hati (IV/324). la berkata, “Sanad hadis ini shahih. Hanya saja tidak ditakhrij Al-Bukhari dan Muslim.” Pernyataan ini disetujui Adz-Dzahabi. Juga diriwayatkan Ahmad (XIX/75) dalam Al-Fath Ar-Rabbani.
7. Al-Bukhari; Kitab hal-hal yang melembutkan hati (XI/308), Muslim: Kitab zuhud (XVIII/117).
8. Shahih; diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab; zuhud (VI/604), ia menyatakan, “Hadis ini hasan dan gharib dan jalur riwayat ini.”
9. Hadis hasan. Hadis ini tidaklah ditakhrij dalam Shahih Al-Bukhari ataupun Shahih Muslim Yang benar, hadis ini ditakhrij oleh At-Tirmidzi dalam Kitab Zuhud (VII/87) dengan lafal, “Kuasailah lisanmula berkata, “Hadis ini hasan.” Bagian pertama hadis ini diriwayatkan Ibnu Qani dan Ath-Thabrani dari Harits bin Hisyam. Al Haitsami menyatakan dalam Majma’ Az-Zawa id (X/298) dan Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib (IV/S), “Diriwayatkan Ath-Thabrani dengan dua sanad, salah satunya jayyid.” Al Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib (IV/3) menyatakan hadis ini bersumber dari Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Sementara riwayat “Tahanlah lisanmu,” bersumber dari Abu Nu’aim dalam Al-Hulyah (11/9).
10. Al-Bukhari; Kitab Hal-Hal yang Melembutkan Hati (XI/308), dan Hudud (XII/113), dari Sahal bin Sa’ad, bukan dengan lafal (يتكفل) tapi (يضمن), sementara dalam kitab hudud menyebut dengan lafal (توكل). Hal ini perlu diketahui
11. Hadis hasan, diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Kitab Zuhud (VII/93), Ibnu Majah; Kitab Fitnah Fitnah (11/1315). At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan-gharib. Kami hanya mengetahuinya dari hadis Muhammad bin Yazid bin Khunais.” Al-Mundziri menyatakan dalam At-Targhib wat Tarhib (IV/10), “Para perawi hadis ini tsiqah. Muhammad bin Yazid diperbincangkan, namun tidak sampai mencelanya, la adalah seorang syaikh yang saleh.”
12. Hadis hasan. Bunyi lengkapnya adalah Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap bagian tubuh pasti mengeluhkan tajamnya lidah.” HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul findn dari Abu Bakar, seperti halnya As-Suyuhti dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir juga menyatakan hadis ini bersumber dari Abu Bakar dan memberi tanda hadis ini hasan (VI/367). Sementara dalam Al-Jami’ Al-Kabir, As-Suyuthi menukil dari Al-Hafizh Ibnu Katsir, ia berkata, “Sanad hadis ini jayyid.” Al-Iraqi dalam Al-lhyd dan Ash-Shamt menyatakan hadis ini bersumber dari Ibnu Abid Dunya. Ia berkata, “Hadis ini dinyatakan Ad-Daruquthni dari Qais bin Abu Hazim, dari Abu Bakar, tanpa celah.”
13. Shahih, diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Kitab Zuhud (VI/607) dari hadis Ibnu Hurairah. At Tirmidzi berkata, “Hadis ini gharib. Ahmad dalam Al-Musnad (1/201), Al-Fathur Rabbdri (XIX/257). Syaikh Syakir menyatakan dalam Tahqiq Kitab Al-Musnad (11/177), “Sanad hadis ini shahih An-Nawawi menyatakan hadis ini hasan dalam Riyddhush Shalihin, hadis nomor 68, dan Al-Arba’din, hadis nomor 12. Al-Haitsami menyatakan dalam Al-Fathul Mubin, hadis nomor 144,”Ibnu Abdilbarr mengisyaratkan hadis ini shahih
14. Shahih, diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnod (IV/132) dan Al-Fathur Rabbani (XVII/88), Kitab Makanan, dan At-Tirmidzi; Kitab Zuhud (VII/51). Hanya saja lafal riwayat At-Tirmidzi menyebut (1), bukannya (), dan (5) bukannya (a). At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan shahih.” Al-Hakim berkata, “Sanad hadis ini shahih, hanya saja tidak ditakrij Al-Bukhari dan Muslim. Pernyataan ini disetujui (IV/331).
15. Dhaif, hadis ini tidak terdapat dalam Kutubus Sitah. Disebutkan Al-Ghazali dalam Al-lhyd. setelah itu ia menyatakan; disebutkan dalam hadis mursal (VIII/1488), “Sungguh, setan mengalir di dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah, Maka persempitlah aliran setan dengan puasa.” Al-Iraqi menuturkan, “Penulis (Al-Ghazali) di sini menyebut hadis mursal.” Hadis mursal ini diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Makdyidisy Syaithän dari hadis Ali bin Husain tanpa menyebut tambahan. Al-Ghazali juga menyebut hadis ini dalam Al-lhyd. Kitab Rahasia-Rahasia Puasa (III/422). Al-Iraqi menyatakan hadis ini muttafaqun alaih dari Shafiyah, tanpa sabda, “Maka persempitlah tempat-tempat aliran setan.”
16. Al-Bukhari; Kitab makanan (IX/549), Muslim; Kitab zuhud (Vill/105). Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadis no. 4996,6193; Muslim, hadis no. 5276, 5274; al-Tirmizi, hadis no. 2281; Ibn Majah, hadis no. 3335; Ahmad, hadis no. 24067, 25163.
Berkaitan dengan Akhir Zaman lainnya